Berita Jawa Tengah
Ketika Laut dan Mangrove Berpelukan, Ekonomi Warga Pun Tersenyum
Melalui silvofishery, mereka belajar menjaga alam, menjaga dapur tetap ngepul, sekaligus memastikan anak cucu masih bisa menikmati laut yang kaya.
Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: deni setiawan
Siapa pun yang menebang mangrove untuk kayu arang bisa langsung ditegur bahkan dilempari batu oleh warga sekitar. Kutawaru yang dulu identik dengan perusakan lingkungan, kini dikenal sebagai penjaga ekosistem pesisir.
Mamaku menggabungkan para petambak kepiting yang sebelumnya bekerja sendiri-sendiri. Mereka mulai mengelola tambak secara bersama, membangun sistem pemasaran, dan bahkan mengembangkan potensi wisata.
Kini, Kampoeng Kepiting Kutawaru tak hanya menjadi sentra budidaya kepiting soka, tapi juga destinasi wisata edukatif. Wisatawan bisa belajar tentang cara budidaya kepiting, berkeliling dengan perahu menyusuri sungai, hingga menanam mangrove sendiri.
Semua kegiatan itu terintegrasi dalam satu konsep wisata berkelanjutan yang menghidupkan ekonomi sekaligus menjaga alam.
“Dulu, mangrove dianggap penghalang rezeki. Sekarang, justru sumbernya rezeki,” kata satu anggota Mamaku, Warianto, dengan senyum bangga.
Uniknya, kampung wisata tersebut dikelola oleh para mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW) migran dan para mantan Anak Buah Kapal. Setelah mereka kembali dari perantauan, tetap ada pekerjaan di kampung halamannya.
“Hampir per bulan itu 80-90 juta per bulan dan ini sangat membantu masyarakat kami yang tadinya sama sekali tidak punya mata pencaharian yaitu tadinya ex-ABK, ex-TKW, dengan adanya program ini mereka dapat merasakan hasilnya,” tutur Wari.
Meski demikian, dia bercerita saat ini penjualan kepiting yang dihasilkan dari budidaya masih hanya untuk lingkungan Kampoeng Kepiting saja dan belum diserap ke luar. Hal ini karena untuk memasarkannya ke luar, akan ada tuntutan kontrak sementara inovasi budidaya masih terus berjalan.
“Jadi ketika kita dalam istilahnya ada kontrak harus sekian bulan, sekian tahun akhirnya kita tidak bisa memenuhi. Karena kita masih berproses dengan tadi inovasi rusun tinggi, diharapkan nanti akan ada plasma-plasma di masyarakat, sehingga hasil lebih banyak, sehingga bisa untuk memenuhi permintaan dari luar kota,” ujarnya.
Lurah Kutawaru, Edy Harjanto mengungkapkan bahwa sebagian besar warganya memilih bekerja di luar negeri sebagai TKW, sementara kaum laki-laki umumnya menjadi anak buah kapal dan berlayar berbulan-bulan di laut lepas. Kondisi ini, menurutnya, telah berlangsung selama bertahun-tahun dengan akar persoalan yang sama, yaitu tekanan ekonomi.
“Kebanyakan warga Kutawaru hanya sekolah sampai SMA, bahkan ada yang SMP. Ini yang membuat warga Kutawaru tak punya banyak pilihan pekerjaan untuk menyambung hidup,” kata Edy.
Inovasi Kampoeng Kepiting
Rato, ketua kelompok masyarakat tersebut bercerita, berdirinya kampung tersebut satu di antaranya didasari adanya permasalahan lapangan pekerjaan dari para eks-TKW dan eks-ABK.
Dari permasalahan tersebut, akhirnya PT Pertamina (Persero) masuk melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yakni dengan mendukung berdirinya Kampoeng Kepiting.
“Karena ada potensi lokal di mana di sini ada karena secara geografis kita dikelilingi laut. Sehingga potensi terutama di budidaya Kepiting cangkang lunaknya ini diangkat. Akhirnya ada atau terbentuk adanya Kampoeng Kepiting di Kelurahan Kutawaru,” kata Rato.
Dalam dukungannya, Pertamina tak hanya memberikan dukungan pendanaan melainkan juga pendampingan.
“Kita memang ada pelatihan-pelatihan, diawali dari pelatihan. Terus memang melihat potensi-potensi yang ada di daerah kami dan ketika kami ada potensi yang bagus kita memang ke CSR Pertamina untuk mengajukan usulan sesuai dengan potensi yang ada di wilayah kami,” ujarnya.
Dengan begitu, Kampoeng Kepiting memiliki model bisnis budidaya kepiting dengan berbagai macam inovasi. Setelah itu, kepiting yang dihasilkan dijual sebagai hidangan yang menjadi kuliner khas Kampoeng Kepiting.
Terkait dengan inovasi, Rato juga bercerita bahwa saat ini di Kampoeng Kepiting terdapat budidaya kepiting cangkang lunak dengan metode ‘rusun tinggi’. Metode ini merupakan budidaya menggunakan boks-boks atau galon bekas bertingkat sehingga kepiting bisa dibudidayakan secara lebih fleksibel.
Pengairan dengan metode budidaya ini didapatkan dari listrik ramah lingkungan yakni Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Sejumlah solar panel berjejer rapi di dekat ‘apartemen’ kepiting dan dibersihkan secara rutin.
“Sehingga, masyarakat di sini bisa mengembangkan budidaya kepiting tidak hanya di tambak, tapi di emperan rumah, di belakang rumah, bahkan ibu-ibu sendiri itu bisa merawat, bisa memberi pakan dan panen,” cerita Rato.
Dengan adanya inovasi tersebut, Rato juga berharap akan banyak lapangan kerja baru yang tercipta di sana. Selain itu, inovasi yang dilakukan terkait budidaya kepiting yakni metode penangkapan baru menggunakan botol bekas untuk menangkap beberapa hewan lain dan bukan hanya kepiting yang ada di tambak.
Inovasi tersebut diberi nama sebagai ‘wadong bahan bekas’.
“Nah itu menjadi alat tangkap inovasi kita, sehingga yang tadinya wadong itu cuma bisa menangkap kepiting, tapi dengan wadong bahan bekas ini bisa menangkap ikan, udang, bahan kepiting,” kata Roto.
Baca juga: Budaya Kilang Cilacap: dari Mata Turun ke Hati, dari Keluarga untuk Perilaku Safety
Tanggung Jawab Kemandirian
Kilang Pertamina Internasional, anak usaha PT Pertamina (Persero) yang bergerak di bidang pengolahan minyak dan petrokimia, terus menjalankan bisnisnya sesuai prinsip Environment, Social, and Governance (ESG).
Sebagai anggota United Nations Global Compact (UNGC), KPI berkomitmen pada sepuluh prinsip universal dalam menjalankan operasionalnya. KPI bertekad menjadi perusahaan kilang minyak dan petrokimia berkelas dunia yang tidak hanya menghasilkan energi, tetapi juga menyalakan kemandirian seperti yang kini menyala di Kutawaru.
Area Manager Communication, Relations, and CSR Kilang Cilacap, Cecep Supriyatna menjelaskan bahwa pendekatan awal kepada warga Kutawaru telah dilakukan sejak 2018.
“Kami mulai melakukan social mapping di Kutawaru dan menemukan adanya sejumlah permasalahan di sana, diantaranya banyak mantan pekerja migran dan anak buah kapal yang hidup dalam kondisi kekurangan,” ungkap Cecep.
Cecep menjelaskan, kondisi geografis turut memperburuk situasi di Kutawaru. Meski lokasinya tidak terlalu jauh dari pusat Kota Cilacap, kelurahan ini terpisah oleh Sungai Donan.
Akibatnya, akses menuju Kutawaru harus ditempuh dengan perjalanan darat berputar ke arah utara, memakan waktu sekitar dua setengah jam.
“Lokasi Kutawaru seperti tidak menyatu dengan Cilacap, padahal sebenarnya kelurahan itu masih di dalam Pulau Jawa,” jelas Cecep.
Melihat kompleksitas persoalan sosial dan ekonomi di Kutawaru, Kilang Pertamina Internasional (KPI) melalui Unit Cilacap menggagas Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Persiapan dilakukan secara menyeluruh, mulai dari perencanaan hingga pelatihan untuk meningkatkan keterampilan warga.
Pada 2020, lahirlah Program Mamaku sebagai langkah konkret untuk memberdayakan masyarakat.
Kepemimpinan program dipercayakan kepada Rato, putra asli Kutawaru yang ditunjuk sebagai ketua kelompok sekaligus local hero.
Dia bertugas mengorganisir warga agar terlibat aktif dalam berbagai kegiatan Mamaku, yang mencakup beberapa subprogram: Kampoeng Kepiting sebagai pusat wisata kuliner berbasis hasil laut, Bank Sampah Abhipraya yang fokus pada pengelolaan lingkungan, dan Pasar Amarta yang menggerakkan ekonomi lokal berbasis UMKM.
Prinsip keterbatasan bukanlah penghalang untuk mencapai kemandirian dijalankan Kilang Pertamina Internasional (KPI) dalam upaya memberdayakan masyarakat Kelurahan Kutawaru, Cilacap. Melalui program terintegrasi, Kilang Cilacap menghadirkan inisiatif yang mendorong masyarakat agar lebih mandiri.
Kini, kawasan pesisir yang dulu gersang kembali hijau. Hutan mangrove tumbuh rimbun, dan hasil laut pun melimpah. Warga yang semula hanya bergantung pada nelayan tradisional kini memiliki sumber penghasilan tambahan dari budidaya silvofishery.
Kalau dulu hasil tangkapan tidak menentu, sekarang lebih stabil. Alam terjaga, ekonomi juga ikut membaik.
Program silvofishery ini tak hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang warisan untuk generasi mendatang. Anak-anak pesisir kini tumbuh dengan melihat bagaimana orangtuanya menjaga laut dan hutan.
Mereka belajar bahwa rezeki bisa datang tanpa harus merusak alam, bahwa laut dan hutan memang diciptakan untuk saling melindungi. (*)
Keramba Apung Kepiting
Cilacap
mangrove
Kilang Cilacap
Pertamina
silvofishery
tribunjateng.com
Deni Setiawan
| Gubernur Jateng Resmikan Aplikasi Super Apps Jateng Ngopeni Nglakoni |
|
|---|
| Apa Kabarnya Napi Rutan Demak yang Kabur dari RS? Polisi: Sudah Termonitor |
|
|---|
| 4.180 Calon Penumpang KAI Ajukan Refund Imbas Banjir Semarang |
|
|---|
| Murdiyanto Kades Sugihan DPO Kejari Wonogiri, Gondol Rp779 Juta Uang Insentif RT-RW |
|
|---|
| H-1 Paripurna Pansus Hak Angket Pemakzulan Bupati Pati, Begini Situasi Terkini di Gedung DPRD |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/20251031-_-Anggota-Mamaku-Cilacap-Cek-Keramba.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.