Opini
Mengurai Akar Kemiskinan: Tahun Pertama Luthfi dalam Mengangkat Martabat Warga Jawa Tengah
Di tanah yang subur oleh gunung dan sungai, Jawa Tengah menyimpan ironi yang telah berpuluh tahun menghantui para pemimpinnya
Penulis: Adi Tri | Editor: galih permadi
Oleh : Wahidin Hasan Pemerhati Kebijakan Publik LHKP PWM Jawa Tengah
DI tanah yang subur oleh gunung dan sungai, Jawa Tengah menyimpan ironi yang telah berpuluh tahun menghantui para pemimpinnya: kemiskinan yang membandel. Setiap pergantian gubernur membawa janji baru, strategi baru, retorika baru, tetapi garis pergulatan kemiskinan selalu memerlukan kerja panjang dan menyita energi birokrasi.
Dalam satu tahun masa kepemimpinan Gubernur Ahmad Luthfi, publik bertanya: apakah arah baru Jawa Tengah dalam menurunkan kemiskinan mulai memunculkan tanda-tanda keberhasilan? Atau, seperti dikatakan sosiolog Anthony Giddens, kebijakan tanpa transformasi struktur sosial hanya akan menjadi “intervensi kosmetik”—mengubah permukaan tetapi tak menyentuh akar persoalan?
Angka yang Bergerak, Tapi Belum Berlari
Badan Pusat Statistik mencatat tingkat kemiskinan Jawa Tengah pada Maret 2025 berada di level 9,48 persen, menurun tipis dari 9,58 persen pada September 2024—sekitar 0,10 poin persentase. Puluhan ribu warga keluar dari kategori miskin, tetapi secara substansi penurunan ini belum mendekati terobosan besar.
Demografer Asep Suryahadi dari SMERU Research Institute mengingatkan bahwa penurunan kemiskinan di Indonesia cenderung “rigid” dan hanya bergerak tipis jika tidak didorong percepatan ekonomi dan kebijakan yang menyentuh akar struktural. Penurunan kecil di Jawa Tengah dalam setahun pertama menunjukkan roda kebijakan mulai bergerak, tetapi belum pada kecepatan yang mampu mengubah lanskap sosial secara signifikan.
Konvergensi: Dari Jargon Menjadi Gerakan Lapangan
Dalam berbagai forum, Luthfi menekankan pentingnya pendekatan konvergensi—sinergi antara pemprov, kabupaten/kota, akademisi, swasta, dan kekuatan sosial lokal. Pendekatan ini sejalan dengan World Development Report (2015) yang menyebut penanggulangan kemiskinan efektif bila dilakukan multi-aktor dan multi-level.
Kelebihan Luthfi terletak pada keberanian mendorong konvergensi hingga level lapangan, bukan berhenti sebagai jargon kebijakan.
RTLH dan Martabat Manusia yang Diperbaiki
Salah satu program paling menonjol adalah perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH). Dengan target 17 ribu unit pada 2025, kebijakan ini menyentuh inti persoalan kemiskinan dari sisi hunian—yang oleh Amartya Sen disebut sebagai basic capability dalam Development as Freedom.
Rumah yang layak adalah fondasi kemampuan manusia untuk hidup sehat, bekerja produktif, dan mendidik generasi berikutnya. Dengan memperbaiki ribuan rumah, pemerintah bukan hanya memberi atap bagi warga miskin, tetapi mengembalikan martabat mereka.
Namun, tantangannya tidak kecil: verifikasi penerima manfaat, sinergi desa, kualitas konstruksi, hingga keterlibatan swasta. Beberapa daerah mengeluhkan lambatnya validasi data. Sejalan dengan pandangan Merilee Grindle dari Harvard, kebijakan sebaik apa pun dapat mandek tanpa birokrasi operasional yang kuat.
Luthfi mulai mengatasi problem ini dengan memperkuat data bottom-up dan pengawasan internal.
Graduasi Kemiskinan: Mengangkat, Bukan Sekadar Membantu
| Mengawal Peta Jalan Vokasi 2045 |
|
|---|
| Kartu Zilenial dan Tantangan Implementasi Program Kepemudaan |
|
|---|
| Memperkuat Program Speling sebagai Model Baru Layanan Spesialistik Berbasis Inklusi |
|
|---|
| Membangun SDM dan Literasi Digital: Arah Baru Jawa Tengah |
|
|---|
| Aksesibilitas dan Kolaborasi: Dua Pilar Strategis Pendidikan Jawa Tengah |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/20251118_Wahidin-Hasan-2.jpg)