Opini
Autentikasi Sekolah Vokasi: Menegaskan Jati Diri Lewat Riset, Teaching Factory, dan Hilirisasi
Autentikasi Sekolah Vokasi: Menegaskan Jati Diri Lewat Riset, Teaching Factory, dan Hilirisasi
Penulis: Adi Tri | Editor: galih permadi
Oleh: Dr. apt. Heru Nurcahyo, S.Farm., M.Sc.
Dekan Sekolah Vokasi Universitas Harkat Negeri
Di tengah perubahan dunia kerja yang serba cepat, pendidikan vokasi kembali menjadi sorotan. Dulu, sekolah vokasi sering dianggap “pilihan kedua”. Kini, persepsi itu berubah. Masyarakat mulai menyadari bahwa vokasi justru merupakan jalur yang paling realistis dan strategis untuk menghadirkan tenaga terampil dan inovatif.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencatat di tahun 2025 bahwa ada hampir 900 ribu mahasiswa yang kini menempuh pendidikan vokasi di Indonesia. Angka ini terus meningkat seiring kebutuhan industri terhadap tenaga terampil yang siap kerja dan siap berinovasi. Artinya, kepercayaan publik terhadap jalur vokasi semakin kuat.
Namun, di tengah perkembangan ini, sekolah vokasi perlu melakukan autentikasi sebagai kultur yang melekat dalam penguatan jati diri agar benar-benar berbeda dari pendidikan akademik. Vokasi bukan versi singkat dari sarjana, melainkan sistem pendidikan yang berakar pada praktik, inovasi terapan, dan kolaborasi industri dimana terbentuk link and match yang ideal antara dunia industri dan pendidikan.
Riset Terapan: Dari Ide ke Aksi
Banyak orang beranggapan bahwa riset hanya dimiliki oleh universitas akademik. Padahal, di dunia vokasi, penelitian justru menjadi sarana paling efektif untuk menciptakan solusi nyata dan berdampak. Riset vokasi tidak berhenti pada luaran laporan, HaKI atau publikasi, tetapi menghasilkan produk, prototipe, dan inovasi yang bisa langsung diterapkan dan dimanfaatkan sebagai bentuk menjawab tantangan kebutuhan masyarakat. Misalnya, mahasiswa dan dosen vokasi program studi D-3 Teknik Elektronika Universitas Harkat Negeri dapat merancang mesin sterilisasi Pulsed Electric Field (PEF) di yang murah dan efisien selain mendapatkan paten juga telah digunakan untuk kelompok nelayan di pesisir Tegal. Atau, di bidang teknologi informasi, para mahasiswa program studi Sarjana Terapan Teknik Informatika mereka mengembangkan aplikasi sederhana untuk membantu UMKM mencatat keuangan. Hal tersebut, “Kalau risetnya tidak bisa dipakai masyarakat, itu artinya belum tuntas,” semangat tersebut digunakan untuk membumikan hasil riset sekolah vokasi.
Teaching Factory: Belajar di “Pabrik” sesungguhnya
Selain itu, Konsep Teaching Factory (TEFA) menjadi jantung pembelajaran vokasi modern. Di TEFA, mahasiswa belajar di lingkungan yang meniru sistem industri sesungguhnya mulai dari budaya kerja, leadership, target produksi, hingga kontrol kualitas sampai inovasi dan evaluasi produk dipasar. Di Sekolah Vokasi Universitas Harkat Negeri, misalnya, mahasiswa berbagai bidang terlibat dalam proyek digitalisasi reklame bersama dengan Bakeuda Kota Tegal mulai dari kegiatan surveyor, pemetaan sampai pada proses digitalisasinya. Pada Prodi D-3 Teknik Mesin dan D-3 Teknik Elektronika yang mengembangkan kelas Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) melaksanakan pembelajaran TEFA dari mahasiswa yang berasal dari PT. Moya Indonesia.
Dengan model ini, kampus bukan lagi sekadar ruang teori, tetapi miniatur industri tempat mahasiswa membangun keterampilan, disiplin, dan etos kerja profesional “Di sini kami belajar bagaimana gagal, memperbaiki, lalu berhasil,” seperti pada proses PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) sebagai bagian dalam siklus mutu sekolah vokasi. Bahkan beberapa mahasiswa vokasi yang terlibat dalam TEFA bidang manufaktur memberikan testimoni tentang “Rasanya seperti benar-benar bekerja, bukan sekadar belajar.”
Hilirisasi: Menembus cuanisasi
Autentikasi sekolah vokasi ditandai salah satunya oleh kemampuan institusi dalam melakukan hilirisasi, membawa hasil riset dan pembelajaran agar bermanfaat di dunia nyata yang memberikan dampak manfaat maupun secara ekonomi atau “cuanisasi”. Hilirisasi bisa berupa komersialisasi produk hasil penelitian tugas akhir mahasiswa dan penelitian dosen yang di bawa ke “picing” bersama industri dan TEFA, selain itu juga dikembangkan kerja sama produksi dengan industri lokal, atau pelatihan teknologi tepat guna bagi masyarakat. Beberapa kampus vokasi bahkan sudah menjalin kemitraan dengan pemerintah daerah untuk mengembangkan pusat inovasi daerah untuk mengembangkan produk lokalnya menuju pasar global.
Program ini membuktikan bahwa hasil karya mahasiswa vokasi tidak berhenti di rak laboratorium. Mereka menjadi bagian dari ekosistem pembangunan dalam membuktikan eksistensinya dalam membantu industri kecil, petani, nelayan, dan wirausahawan muda di berbagai daerah.
Membangun ekosistem otentik
Autentikasi vokasi tidak cukup dilakukan lewat kurikulum, tetapi Ia harus diwujudkan dalam ekosistem yang terintegrasi. Dosen menjadi practitioner-researcher, mahasiswa menjadi young innovator, dan mitra industri menjadi co-creator dalam proses pembelajaran.hal tersebut akan menjadi kunci sukses pendidikan vokasi terletak pada kolaborasi ini. Saat dunia industri aktif terlibat dalam desain kurikulum, mentoring, hingga penilaian hasil belajar, maka lulusan vokasi akan benar-benar siap menghadapi tantangan kerja. Sebaliknya, sekolah vokasi yang tertutup dan hanya sibuk dengan administrasi internal akan kehilangan napas industrinya.
Dari vokasi menuju industrialisasi
Dalam konteks pembangunan nasional, keberadaan sekolah vokasi seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi lokal. Bayangkan bila setiap sekolah vokasi mampu melahirkan satu produk unggulan daerah setiap tahun mulai dari alat pertanian, inovasi energi, produk kesehatan, hingga produk kreatif digital, pastinya akan memberikan dampak luar biasa: munculnya lapangan kerja baru, penguatan daya saing daerah, dan terwujudnya link and match yang selama ini hanya menjadi jargon sehingga ekonomi daerah akan lebih moncer dan berdikari. Karena itulah, autentikasi vokasi bukan hanya agenda pendidikan, tapi juga agenda ekonomi dan sosial bangsa menyorong indonesia emas 2045.
Sekolah vokasi bukan sekadar tempat belajar, melainkan ruang transformasi. Di dalamnya, mahasiswa belajar berpikir praktis, bertindak solutif, dan bekerja kolaboratif. Ketika penelitian terapan, teaching factory, dan hilirisasi dijalankan dengan serius, maka vokasi akan tampil sebagai wajah pendidikan yang autentik yang membumi, mandiri, dan berdampak. Karena hanya dengan autentikasi yang kuat, sekolah vokasi di Indonesia bisa melahirkan tenaga kerja unggul yang diakui industri, dipercaya publik, dan membanggakan bangsa.
Sebagaimana dikatakan Menteri Pendidikan, “Vokasi bukan hanya untuk mencetak pekerja, tetapi pencipta karya.” Dan saat sekolah vokasi menemukan autentisitasnya, di sanalah Indonesia menemukan salah satu kekuatan terbesarnya seperti tagline Universitas Harkat Negeri “yo beter”: berdampak, terhubung dan relevan menjadikan Indonesia sebagai negara maju, berdaulat, adil, dan makmur.
| Makan Bergizi Gratis : Stimulus Ekonomi Riil yang Bisa Mengancam Konsumen |
|
|---|
| Forum Rektor Jawa Tengah Harus Berdampak Nyata |
|
|---|
| Mengurai Akar Kemiskinan: Tahun Pertama Luthfi dalam Mengangkat Martabat Warga Jawa Tengah |
|
|---|
| Mengawal Peta Jalan Vokasi 2045 |
|
|---|
| Kartu Zilenial dan Tantangan Implementasi Program Kepemudaan |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/20251124_HeruUHN.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.