Oleh Udi Utomo SS, MPd
Guru SMPN 5 Pati
KASUS pelanggaran keadaban digital oleh kalangan remaja makin sering terjadi. Sebagai contoh kasus MS (18), siswa SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah yang mengunggah konten bernada kebencian terhadap Palestina. Kasus ini menjadi viral setelah pihak sekolah mengeluarkan MS (Kompas, 20/5/2021). Pertanyaannya mengapa MS bisa mengunggah konten ujaran kebencian?
MS melakukan karena tidak memiliki kemampuan yang sering diungkapkan dengan istilah “saring sebelum sharing”. Mengapa MS tidak memiliki kemampuan tersebut? Karena MS tidak memiliki kompetensi berpikir kritis. Apa itu berpikir kritis? Menurut Edward Glaser, berpikir kritis adalah tidak asal bicara, melainkan memiliki dasar rasional dalam mengambil kesimpulan.
Sedang menurut John Dewey, berpikir kritis adalah tidak diam dan tidak menerima begitu saja apa yang didapat dari luar dirinya, melainkan menyaringnya (Sihotang, 2019). Dari pendapat tersebut, dapat dikatakan orang yang berpikir kritis memiliki sikap skeptis (mempertanyakan) terhadap suatu informasi. Menurut Haryamoko, SJ orang cenderung hanya melihat tidak mau verifikasi. Padahal verifikasi mengandaikan berpikir mengapa? (Kompas, 28/6/2021).
Kompetensi berpikir kritis menjadi sesuatu yang urgen dimiliki kalangan remaja saat ini, karena: pertama, menurut survei We Are Social dari 170 pengguna aktif media sosial di Indonesia didominasi oleh kelompok usia remaja. Kedua, perkembangan teknologi menyebabkan terjadi banjir informasi. Namun, celakanya orang mudah pula melakukan penyesatan informasi (disinformasi).
Merriam-Webster menyebut disinformasi sebagai informasi salah yang sengaja disebarkan untuk mengaburkan kebenaran. Orang mudah memproduksi dan mendistribusikan hoaks, ujaran kebencian, perundungan, radikalisme, dan terorisme. Sehingga Microsoft melalui survei Digital Civility Index (Derajat Keadaban Digital) pada Februari 2021 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan keadaban digital buruk yaitu ada di peringkat ke-29 dari 32 negara.
Baca juga: OPINI Muhamad Mustaqim : Akademisi dan Tikungan Publikasi
Baca juga: OPINI Sigid Mulyadi : Meningkatkan Dukungan KUR Pada Sektor Pertanian
Literasi Media
Lalu bagaimana mengajarkan keterampilan berpikir kritis? Pendidikan memiliki peranan. Pendidikan yang bagaimana yang bisa mengajarkan keterampilam berpikir kritis? Keterampilan berpikir kritis akan tumbuh pada pendidikan yang menempatkan siswa sebagai subyek (student center). Pendidikan yang memerdekakan siswa.
Jika merujuk pada pendapat Freire (2008) mengistilahkan “pendidikan hadap-masalah” sebagai antitesis “pendidikan gaya bank”.
Konsep “pendidikan hadap-masalah” mengamanatkan pendidikan di mana siswa diberi kebebasan mengekspresikan ide dan gagasan-gasasannya tanpa terbelenggu doktrin kurikulum (mengeksplorasi bukan indoktrinasi). Oleh karenanya, pembelajaran di kelas tidak terbatas menguasai materi kurikulum tetapi siswa belajar bagaimana menganalisis dan memecahkan masalah-masalah yang kontekstual.
Analisis masalah
Terkait dengan pengajaran keterampilan berpikir kritis untuk meningkatkan keadaban digital. Ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan yaitu pertama, memasukkan konten literasi media dalam kurikulum. Di beberapa negara sudah menerapkan kebijakan ini seperti Singapura dan Finlandia.
Pada pelajaran literasi media, siswa diajarkan tentang bagaimana menganalisis sumber berita secara kritis, menganalisis bagaimana orang memanipulasi informasi, memanipulasi gambar/foto, dan hal-hal misalnya mempelajari tujuan apa yang tersembunyi di balik suatu informasi di media sosial.
Kedua, menerapkan pembelajaran yang higher order thinking skills (HOTS) di kelas. HOTS adalah suatu kemampuan dalam menggunakan dan mengolah proses berpikir atau kemampuan menggunakan pengetahuan untuk mengembangkan pengetahuan itu sendiri (Lie, 2020).
Dalam pembelajaran yang HOTS tujuannya tidak sebatas memahami suatu fakta atau konsep tetapi meningkatkannya dengan menggunakan pengetahuan tersebut sebagai referensi dalam menganalisis permasalahan dan memecahankan masalah. Siswa dibiasakan berpikir terstruktur sesuai kaidah ilmu pengetahuan. Francis Wahono (2021), menyebut tahapan tersebut sebagai berpikir algorithmik.
Baca juga: OPINI R Wulandari : Empat Skenario Pemulihan Ekonomi Dampak Covid-19
Baca juga: OPINI Muhammad Ikhsan Hidayat : Gerakan Mengheningkan Cipta, Doa Untuk Indonesia
Pergaulan luas
Ketiga, memperkuat tradisi literasi. Jika merujuk pada hasil tes kemampuan literasi siswa Indonesia. Kemampuan literasi siswa masih jauh dari harapan. Pada tes Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 bidang literasi (membaca), peringkat siswa Indonesia berada dalam 10 kelompok negara terendah dengan skor 371 (skor rata-rata 453).
Literasi menjadi persoalan klasik. Minat membaca rendah karena permasalahan keteladanan. Oleh karena itu sekolah, guru, keluarga (masyarakat) seharusnya dapat menjadi teladan. Selain itu, harus ada perubahan pada metode pembelajaran membaca. Selama ini, praktik belajar membaca berorientasi menyiapkan siswa untuk mengerjakan tes, supaya diubah menjadi metode membaca untuk kesenangan.
Keempat, desain pendidikan yang mengarusutamakan multikulturalisme. Kompetensi keterampilan berpikir kritis tumbuh apabila siswa memiliki sikap menghargai perbedaan, empati serta memiliki relasi sosial (pergaulan) yang luas dari berbagai lapisan masyarakat. Urgen mendidik keterampilan berpikir kritis sejak dini. Dengan anak memiliki kompetensi berpikir kritis menjadi bekal menghadapi “pandemi” disinformasi sekaligus mencegah terjadinya segregasi. (*)
Baca juga: OPINI Djoko Subinarto : Laptop Merah Putih
Baca juga: OPINI Satrio Wahono : Instrumen Investasi Menarik di Era Pandemi
Baca juga: OPINI Meretas Kekerasan Anak di Tengah Pandemi
Baca juga: OPINI Hadi Susiono Panduk : Hakikat Pengorbanan