Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Readers Note

Kenapa Tidak Membantu Korban Tapi Diam Melihat Saja

Meskipun ada banyak orang di sekitar yang mampu memberikannya bantuan. Namun, efek pengamat mungkin juga sering kita temui

Editor: iswidodo
tribunjateng/dok pribadi
Dhiya Almirra Azzahra | Mahasiswi Magister Psikologi Unika Soegijapranata 

Teori Bystander Effect yang dikemukakan oleh John Darley dan Bibb Latane (1968) setelah kasus tragis pembunuhan Kitty Genovese di New York. Seorang wanita muda, ditikam hingga tewas di apartemennya disaksikan puluhan tetangga. Tapi tak seorang pun segera menolong atau menelepon polisi. Dari tragedi itu dua psikolog Bibb Latane dan John Darley meneliti apa yang terjadi dalam pikiran orang-orang yang hadir, dan melahirkan kesimpulan bahwa semakin banyak orang yang menyaksikan sebuah keadaan darurat, semakin kecil kemungkinan salah satu dari mereka akan menolong. 

Mengapa? (Latane & Darley, 1968) menyimpulkan bahwa ketika ada banyak orang, tanggung jawab individu “terdifusi” artinya masing-masing orang berpikir orang lain pasti sudah membantu. 

Teori mereka menguraikan lima tahap proses keputusan untuk membantu yaitu;
1. Perhatian: Apakah kita menyadari ada masalah?
2. Interpretasi: Apakah ini benar-benar darurat?
3. Tanggung jawab: Apakah saya yang harus bertindak?
4. Keputusan: Apa yang akan saya lakukan?
5. Implementasi: Bagaimana cara melakukannya?

Dalam kelompok besar, tahap 3 sering gagal. Orang akan berpikir “seseorang lainnya pasti sudah ada yang menelepon ambulans atau polisi”, atau “ini bukan urusanku”. Dengan pola berpikir yang seperti ini bukan karena kita jahat tetapi karena difusi tanggung jawab, semakin banyak penonton, semakin kecil kemungkinan bantuan karena merasa ada kehadiran orang lain yang akan menolong atau menyelamatkannya. Studi mereka menunjukkan, dalam eksperimen simulasi partisipan lebih cepat membantu jika sendirian (85 persen membantu) dibandingkan jika ada orang lain (31 % membantu).

Menurut (Latane & Darley, 1968) ada tiga proses mental yang bekerja saat kita menjadi bagian dari kerumunan dalam situasi darurat:
1. Pluralistic Ignorance (Ketidaktahuan Pluralistik)
Setiap individu dalam kerumunan diam-diam melihat reaksi orang lain untuk memastikan apakah situasi itu benar-benar darurat. "Kalau tidak ada yang panik, berarti ini tidak darurat". Hasilnya, semua orang saling menunggu, dan situasi darurat yang nyata diinterpretasikan sebagai hal yang biasa.
2. Diffusion of Responsibility (Penyebaran Tanggung Jawab)
Ini adalah inti dari masalahnya. Dalam kerumunan, tanggung jawab untuk menolong tidak lagi terpusat pada satu orang, melainkan menyebar ke semua orang yang hadir. Pikiran kita berkata, "Ah, pasti sudah ada yang telepon polisi," atau "Bukan hanya urusan saya sendiri." Tanggung jawab yang menyebar ini membuat setiap individu merasa beban moralnya menjadi sangat ringan, hampir hilang.
3. Evaluation Apprehension (Kekhawatiran Dievaluasi)
Kita takut dipermalukan, takut salah menilai situasi, atau takut justru membahayakan diri sendiri jika turun tangan. "Bagaimana jika korban justru tidak berkenan karena saya ikut campur?" atau "Nanti saya diminta menjadi saksi dan repot urusannya." Rasa malu dan khawatir ini menjadi penghalang kuat untuk bertindak.

Harus Bertindak

Apakah bystander effect tak bisa diubah? Tentu bisa. Psikologi sosial juga memberi harapan. Darley & Latané menemukan bahwa kesadaran akan fenomena ini saja sudah dapat meningkatkan kemungkinan seseorang bertindak. Mengetahui mekanisme psikologis ini adalah langkah pertama untuk melawannya. Kita bisa secara sadar melawan arus dengan strategi berikut:

1. Langsung ambil tanggung jawab pribadi. Paksakan diri untuk berpikir, "Jika bukan saya, lalu siapa?" Jangan berasumsi orang lain sudah atau akan menolong. Dengan mengambil kepemilikan penuh atas situasi, kita memutus siklus diffusion of responsibility.
2. Langsung tunjuk satu orang secara spesifik. Ini adalah cara paling efektif untuk mengatasi kebekuan dalam kerumunan. Jangan berteriak, "Seseorang tolong panggilkan ambulans!" Teriakan seperti itu akan disambut oleh diffusion of responsibility. Sebaliknya, tatap mata satu orang tertentu dan beri perintah yang jelas: "Anda, Bapak yang pakai baju biru, tolong telepon ambulans sekarang dan laporkan kecelakaan di sini!" atau "Pak, tolong cari kotak P3K di pos satpam itu!"
Dengan instruksi yang jelas dan penunjukan individu, Anda memusatkan tanggung jawab kepadanya dan mengatasi  ignorance.
3. Kurangi Kekhawatiran dengan mengetahui kemampuan dasar. Ikuti pelatihan Pertolongan Pertama (PP). Dengan memiliki pengetahuan dasar, kepercayaan diri Anda untuk menolong akan meningkat, dan kekhawatiran untuk melakukan kesalahan akan berkurang
4. Ajak korban menjauh setelah pelaku pergi, mendekati korban dan tawarkan bantuan. Tanyakan, "Kamu baik-baik saja?" dan "Apa yang bisa saya bantu?" Dukungan sederhana seperti ini sangat penting.
5. Segera laporkan ke pihak berwenang kejadian tersebut kepada guru, orang tua, atau petugas keamanan. Jangan diasumsikan orang lain sudah melakukannya.
Sekolah, universitas, dan tempat kerja juga bisa berperan dengan mengedukasi kesadaran prososial mendorong keberanian moral untuk bertindak saat orang lain diam. 

Jadilah Penolong
Bystander effect mengingatkan kita bahwa kejahatan tidak selalu tumbuh karena niat jahat, tetapi juga karena diamnya orang baik. Di tengah dunia yang sibuk, mungkin yang paling dibutuhkan bukan lagi banyaknya mata yang melihat, melainkan satu tangan yang mau menolong. Sebab pada akhirnya, keberanian untuk peduli adalah bentuk kemanusiaan yang paling sederhana dan paling langka. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved