Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

UIN SAIZU Purwokerto

Kiai, Santri, dan Negara dalam Arah Baru Pendidikan Pesantren

Pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren bukan sekadar berita baru dari pemerintah.

Penulis: Adi Tri | Editor: galih permadi
IST
Pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren bukan sekadar berita baru dari pemerintah. Ini adalah keputusan berani yang, suka atau tidak, akan menguji kemampuan negara membaca dunia pesantren sebuah ruang budaya yang selama ratusan tahun berdiri tegak tanpa birokrasi. 

Oleh: Prof. Dr. Kholid Mawardi, M.Hum
Guru Besar FUAH UIN Saizu Purwokerto

PEMBENTUKAN Direktorat Jenderal Pesantren bukan sekadar berita baru dari pemerintah. Ini adalah keputusan berani yang, suka atau tidak, akan menguji kemampuan negara membaca dunia pesantren sebuah ruang budaya yang selama ratusan tahun berdiri tegak tanpa birokrasi.

Negara kini masuk ke halaman pesantren, dan pertanyaannya sederhana namun menantang: apakah ia datang sebagai penguat, atau justru membawa beban baru?

Pesantren merupakan pusat kebudayaan Islam Nusantara. Kiai bukan hanya pendidik, tetapi simbol moral dan penjaga tradisi. Santri tidak sekadar pelajar, tetapi pewaris nilai kesederhanaan, adab, dan spiritualitas yang tak lekang oleh modernisasi.

Ketika negara membentuk Ditjen Pesantren, ia sebenarnya sedang berurusan dengan sebuah institusi yang memiliki logika nilai jauh lebih tua dan sering kali lebih kokoh dari pada logika administratif yang hendak diterapkan.

Arah Rekognisi Negara

Negara tentu memiliki alasan rasional. Undang-Undang Pesantren 2019 menuntut adanya struktur yang fokus, profesional, dan terarah. Dalam banyak kasus, pesantren membutuhkan dukungan nyata: sarana yang layak, perlindungan keselamatan santri, serta akses pemberdayaan yang tidak timpang. 

Ditjen Pesantren bisa menjadi pintu masuk untuk mempercepat semua kebutuhan itu. Dan ini memang harus diakui sebagai langkah maju. Tetapi rekognisi hanya bermakna jika negara memahami medan yang dihadapinya.

Sensitivitas Kebudayaan

Risiko terbesar dari pembentukan Ditjen Pesantren bukan pada kebijakan, tetapi pada pendekatan. Pesantren memiliki mekanisme internal yang tumbuh dari pengalaman kolektif, bukan dari prosedur teknis. 

Bila pendekatan negara terlalu teknokratis terlalu banyak form, laporan, atau standar seragam maka pesantren kecil akan menjadi korban pertama. Bahkan tidak mustahil, akan bermunculan pesantren instan yang hanya mengejar fasilitas, bukan kualitas budaya.

Negara harus memahami bahwa pesantren adalah aset kebudayaan. Intervensi yang salah bukan hanya tidak efektif tetapi berpotensi merusak.

Menjaga Keseimbangan

Idealnya, negara dan pesantren berjalan sebagai mitra. Negara hadir pada aspek struktural dan keselamatan. Kiai tetap memimpin ruang tradisi. Kurikulum kitab kuning, pola pengasuhan santri, dan metode riyāḍah adalah wilayah yang sudah berabad-abad dibentuk melalui kebijaksanaan para ulama. 

Negara tidak boleh salah langkah. Dalam kebudayaan, sentuhan yang terlalu kuat justru dapat mematahkan. Di sisi lain, pesantren juga perlu melihat kehadiran Ditjen Pesantren sebagai peluang. Modernisasi tidak selalu berarti westernisasi. Rekognisi negara dapat memperluas manfaat pesantren bagi masyarakat luas.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved