Fokus
FOKUS: Kuncinya Kemauan Politik
Banjir di Kota Semarang dibaratkan seperti komplikasi. Namun, penanganan dari komplikasi tersebut hanya diberi obat penurun panas biasa. Dampaknya, ko
Penulis: galih pujo asmoro | Editor: m nur huda
Tajuk Ditulis Oleh Jurnalis Tribun Jateng. Galih Pujo Asmoro
TRIBUNJATENG.COM - Banjir di Kota Semarang dibaratkan seperti komplikasi. Namun, penanganan dari komplikasi tersebut hanya diberi obat penurun panas biasa. Dampaknya, komplikasi tersebut pun tak pernah disembuhkan. Hal itu dikatakan Profesor Ilmu Kependudukan dan Lingkungan Unnes, Saratri Wilonoyudho.
Menurut dia, ada beberap ahal penyebab komplikasi banjir di semarang. Di antaranya adalah perubahan tata ruang tanpa mengindahkan fungsi lahan. Hal itu dibarengi dengan penurunan muka tanah. Selain itu, pembangunan drainase yang tidak disertai dengan kapasitas memadai dan terkoneski. Artinya, jaringan drainase di Kota Lunpia tidak saling terhubung ke sungai sehingga limpasan air hujan tidak terserap dengan cepat.
Ia menegaskan, Pemerintah Kota Semarang harus memerhatikan perubahan tata ruang. Sebab, bila hanya mengandalkan pompanisasi saja, itu bersifat sementara. Menurutnya, penanganan banjir sebenarnya hal sederhana lantaran secara rumus teori, air mencari daerah lebih rendah baik ke sungai atau ke titik resapan.
Baca juga: FOKUS: Rob dan Pembiaran Eksploitasi Air Tanah
Menurutnya, pemerintah bisa melakukan simulasi melalui data. Meliputi data curah hujan, luas resapan, luas terbangun, panjang dan volume sungai, serta drainase. Nantinya, bisa disimpulkan sebenarnya mengapa banjir Semarang dapat terjadi. Menurut dia, semua datanya ada, cuma tinggal kemauan politiknya saja.
Cukup menarik pernyataan Prof Saratri. "Tinggal kemauan politik saja". Kemauan politik di era demokrasi seperti sekarang ini adalah faktor paling penting untuk mengatasi berbagai persoalan. Bukankan bila bukan karena political will, hingga hari ini kita belum punya KPK dan UU khusus mengenai korupsi?
Demikian juga dengan persoalan banjir. Saya yakin, kondisi alam masih bisa diperbaiki dan itu bukan persoalan mampu atau tidak mampu, namun lebih dikarenakan mau atau tidak mau. Kemauan itu adalah political will.
Saya setuju dengan pernyataan Prof Saratri bila mengandalkan pompanisasi hanya bersifat sementara. Pompanisasi hanya akan mempercepat air dibuang ke laut, sama sekali tidak menyentuh biang kerok utama penyebab banjir.
Kota Semarang dan wilayah lain yang kerap kali kebanjiran, kemungkinan besar sudah punya kajian bagaimana mencegahnya dan mengantisipasi, tidak sekadar hanya menangani bila bencana terjadi. Pun halnya dengan identifikasi berbagai persoalan yang jadi penyebab banjir tersebut. Jadi, tinggal bagaimana kemauan pemerintah dalam melaksanakannya.
Baca juga: FOKUS: Eksploitasi dan Minimnya Suplai Air Bersih
Misal, penurunan muka tanah di kawasan pesisir dikarenakan penggunaan air tanah secara besar-besaran. Berarti untuk mengantisipasinya, larang saja penggunaan air tanah. Namun hal itu juga harus dibarengi dengan kualitas prima pelayanan PDAM. Sementara bila ada industri yang menggunakan air tanah dengan alasan lebih murah dibanding beli air dari PDAM, selain memberikan sanksi, tentunya harus juga dipikirkan bagaimana caranya agar harga produk mereka tetap kompetitif ketika tidak lagi menggunakan air tanah.
Pun halnya dengan perubahan tata ruang tanpa mengindahkan fungsi lahan. Hal semacam itu bahkan mungkin akan lebih gampang lagi mengetahuinya. Toh sudah ada rencana tata ruang wilayah misalnya di titik A untuk resapan, di lokasi B untuk industri, dan lain sebagainya. Bila wilayah resapan kok sampai jadi perumahan, tentu ada yang tidak beres. Syaratnya ya seperti yang dikatakan Prof Saratri, kemauan politik.
Di sisi lain, kita harus mengapresiasi langkah Plt Wali Kota Semarang, Hevearita G Rahayu yang hendak duduk bersama dengan Bupati Semarang guna membicarakan pencegahan banjir. Tentunya, bila pencegahan banjir dilakukan secara lintas wilayah dan lintas sektoral, hasilnya akan lebih baik dibandingkan dilakukan tiap wilayah secara sendiri-sendiri. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.