Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

UIN SAIZU Purwokerto

Abolisi dan Amnesti dalam Politik Hukum Studi Kasus Hasto, dan Tom Lembong

Abolisi dan Amnesti dalam Politik Hukum Studi Kasus Hasto, dan Tom Lembong

Editor: Editor Bisnis
Tribun Jateng/Istimewa
Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy,M.E., Akademisi UIN Saizu Purwokerto. (DOK. UIN SAIZU) 


Politik Hukum dan Kritik Etis


Meski sah menurut hukum, keputusan Prabowo tetap membuka ruang kritik. Sebagian pihak menilai pemberian abolisi dan amnesti bernuansa balas jasa atau politisasi hukum. Ada juga yang menilai bahwa ini bisa menciptakan preseden buruk: bahwa hukum bisa dikompromikan atas dasar kekuasaan.


Namun, dalam politik hukum modern, pertimbangan hukum bukan hanya soal legalitas prosedural, melainkan juga keadilan substantif. Di sinilah pentingnya mengkaji keputusan semacam ini dalam konteks besar, yakni kepentingan bangsa.


Profesor Zainuddin Ali dalam bukunya “Filsafat Hukum” menegaskan bahwa negara hukum yang baik bukan hanya menjamin rule of law, tetapi juga justice as fairness. Jika keputusan presiden itu diambil dengan pertimbangan bahwa manfaat sosial dan politiknya jauh lebih besar daripada kerugian hukumnya, maka secara moral-politik ia bisa dibenarkan.


Ke Depan: Etika dan Transparansi


Agar tidak menimbulkan kecurigaan dan mencederai rasa keadilan publik, praktik pemberian abolisi dan amnesti harus dibarengi dengan transparansi, akuntabilitas, dan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan.


DPR sebagai institusi pengimbang harus betul-betul melakukan pengawasan dan uji kelayakan, bukan sekadar stempel formal.


Dalam kerangka siyasah Islam, prinsip syura (musyawarah) dan maslahah (kemaslahatan) harus menjadi dasar utama. Keadilan bukan hanya untuk elite, tapi juga untuk masyarakat luas yang menuntut integritas dan kesetaraan di depan hukum.


Pemberian amnesti dan abolisi kepada Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong oleh Presiden Prabowo merupakan hak konstitusional yang sah dan dapat dibenarkan secara hukum maupun siyasah Islam. Namun, praktik ini harus terus dikritisi secara etis dan dijaga agar tidak melenceng menjadi alat politisasi kekuasaan.


Sebab di negeri hukum dan demokrasi, kekuasaan yang tidak diawasi bisa berubah menjadi tirani terselubung. Maka, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa: 59:


“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Jika kamu berselisih dalam suatu perkara, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir.”


Dari ayat ini, kita belajar bahwa hukum, dalam pandangan Islam, bukan sekadar aturan, tetapi jalan menuju keadilan, perdamaian, dan persatuan umat.

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved